candra
11-08-2006, 23:44
Dari beberapa kali kunjungan kami ke kali citarum Rajamandala. Kami menduga kalau di sekitar kali ini besar kemungkinan ikan hampala masih berlimpah.
Kesimpulan ini berdasarkan hasil survey kami 5 bulan lalu ketika sedang masih banyak hujan dan paras air sedang tinggi.
Waktu itu kami berhasil mendaratkan cukup banyak ikan hampala juvenil ukuran 1 s/d 2 jari dgn menggunakan umpan cacing dan laron. Sementara saya sendiri mencoba casting menggunakan minow dan spiner, ternyata tidak membuahkan hasil.
Setelah waktu mulai beranjak siang, datanglah seorang pemancing paruh baya dan kami pun berbincang2. ternyata beliau spesialis mancing hampala di Citarum dengan hanya berbekal sebuah joran fiber sederhana dan satu gulung besar kenur tanpa menggunakan reel.
Kami pun bertanya umpan apa yg dia gunakan, orang tua itupun mengeluarkan senjata andalannya, dengan terheran2 kami perhatikan ternyata umpannya hanya berupa potongan kaleng bekas biskuit yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti spoon dan diberi kail di tengahnya.
Kemudian beliau jelaskan caranya merangkaikan umpan/lure aneh ini yang langsung diikatkan ke kenur utama dan diberi timah pemberat dgn stoper agar timah tdk melorot mengenai umpan.
Kemudian tinggal dilemparkan ke tengah sungai dan digulung oleh gulungan kenurnya yang besar itu. Sangat simpel.
Menurut pengakuannya dia bisa mendapatkan sampai hitungan belasan ekor dalam sehari memancing jika sedang beruntung, ikan hampala yg dia naikkan pernah ada yg mencapai ukuran berat sktr 2 kiloan.
Setelah itu kami berpisah, beliau meneruskan perjalananya ke arah hulu sungai yang lebih berarus seperti tujuannya semula untuk memikat ikan hampala.
Sayangnya kami urungkan niat untuk mengikutinya karena kondisi jalan setapak yang sulit dan sebagian masih tertutup air sehingga satu2nya cara harus menyusuri hutan dan perkebunan yang cukup terjal.
Hari minggu kemarin tgl 6 agustus saya dan beberapa teman memutuskan untuk mencoba lagi peruntungan kami untuk casting hampala di kali Citarum rajamandala. Dengan berbekal sebatang joran Orion Lexus 4-6 lbs, sebatang joran Penn 4-16 lbs, 2 bh reel shimano alivio 2500 yang diisi kenur braided Relix matrix pro 12 lbs plus leader fluorocarbon berkley Vanish 14 lbs, kamipun berangkat ke tujuan.
Jam 7 pagi kamipun sampai di bawah jembatan lama Rajamandala, Kondisi air watu itu sudah sangat dangkal sekali bahkan dibeberapa tempat saya bisa berjalan ke tengah sungai sejauh 5-7 meter.
Dari penjelasan pemilik warung di tepi jembatan kami mendapat keterangan bahwa waktu musim kemarau pintu air dari waduk saguling setiap hari minggu tidak di buka, sehingga debit air yang masuk ke Citarum sangat minim.
Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan betul oleh para nelayan penjaring ikan yang biasanya mempergunakan jaring lintar untuk mencari ikan di alur Citarum.
Kamipun coba turun ke tepi kali, dan memang betul adanya, sekitar belasan penjaring berlalu lalang di hadapan kami menyusuri sungai menebarkan jaring lintar dari atas rakit bambu.
Dan memang tidak seorangpun kelihatan turun memancing pada hari itu, kecuali seorang bapak yang pernah kami jumpai di tempat ini 5 bulan yang lalu, sedang mencoba memancing ikan hampala. Tidak banyak ikan yang dia dapatkan, hanya beberapa ekor saja itupun ukurannya kecil2, begitu katanya.
Tentulah pikir saya karena sedikit banyak pasti akan terganggu oleh kegiatan para penjaring ikan yg lalu lalang di depan kami, selain juga karena air yang mati/diam tidak berarus dan keruh oleh karena kegiatan para penjaring ini.
walhasil kami putuskan untuk cabut saja dari sana dan selanjutnya kami menuju ke sebuah sungai kecil yang juga bermuara ke waduk Cirata di sekitar jalan lintas Jonggol, atas usulan seorang teman yg biasa mancing ikan beuntur, lalawak dan genggehek di sungai itu.
Setelah tiba di lokasi, debit air sungai ini juga sdh tinggal sedikit walau masih layak untuk tempat kami bisa mancing.
Sejurus kami perhatikan sepertinya di dalam sungai tidak ada kehidupan sama sekali, padahal biasanya teman kami sering membawa pulang ikan cukup banyak kalau mancing di sungai ini.
Tak lama setelah kami membuka bekal makan siang ada beberapa orang anak penduduk kampung setempat memberi tahu bahwa beberapa hari sebelumnya sungai itu sudah ditebar racun portas dan endrin sampai 5 kali, bussseeet 5 kali bo.
Ikan2 kecil tak terhitung banyaknya dan juga banyak sekali ikan hampala ikan tagih/baung, gabus, besar2, ikan mas juga dll yang meraka dapatkan hari itu. Begitu menurut cerita anak itu.
Dengan perasaan campur aduk jengkel, getir, sedih berkecamuk dlm hati saya, akhirnya kamipun pulang dgn lesu. Bayangkan bukan hanya sekali tapi 5x racun ditebar di sungai yang hanya selebar 2-5mtr ini.
Entah berapa tahun lagi sungai ini bisa pulih lagi seperti sedia kala. Dengan demkian tak heranlah lagi saya kenapa ikan2 peliharaan di japung dan di waduk sering mengalami kematian mendadak padahal sudah musim kemarau, dan ditengah2 waduk cirata tidak biasanya tiba2 banyak sekali didapatkan ikan Hampala, yang mungkin diakibatkan karena alur sungai tempat berkembang biak ikan ini ternyata sudah dicemari oleh orang2 yang kurang bertanggung jawab.
Habislah tempat untuk kami bisa meneruskan hobi bersiar-siar sambil memancing di sungai2 yang bermuara ke Cirata. Entahlah pula dengan sungai2 yang lain, apatah sama keadaannya dengan sungai ini.
Fenomena meracun ikan dengan mempergunakan racun portas atau endrin dan beberapa jenis racun lainnya, sepertinya masih dan sudah menjadi kegiatan yang umum dilakukan penduduk desa ketika musim kemarau tiba.
Dan herannya mengapa racun2 ini masih sangat mudah sekali didapatkan?, bukankah pemerintah juga sudah melarang peredarannya?
Masih banyak pertanyaan yang belum lagi bisa terjawab.
Entah apa pula yang bisa saya perbuat untuk mencegah terjadinya kegiatan yang merusak alam ini.
Kesimpulan ini berdasarkan hasil survey kami 5 bulan lalu ketika sedang masih banyak hujan dan paras air sedang tinggi.
Waktu itu kami berhasil mendaratkan cukup banyak ikan hampala juvenil ukuran 1 s/d 2 jari dgn menggunakan umpan cacing dan laron. Sementara saya sendiri mencoba casting menggunakan minow dan spiner, ternyata tidak membuahkan hasil.
Setelah waktu mulai beranjak siang, datanglah seorang pemancing paruh baya dan kami pun berbincang2. ternyata beliau spesialis mancing hampala di Citarum dengan hanya berbekal sebuah joran fiber sederhana dan satu gulung besar kenur tanpa menggunakan reel.
Kami pun bertanya umpan apa yg dia gunakan, orang tua itupun mengeluarkan senjata andalannya, dengan terheran2 kami perhatikan ternyata umpannya hanya berupa potongan kaleng bekas biskuit yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti spoon dan diberi kail di tengahnya.
Kemudian beliau jelaskan caranya merangkaikan umpan/lure aneh ini yang langsung diikatkan ke kenur utama dan diberi timah pemberat dgn stoper agar timah tdk melorot mengenai umpan.
Kemudian tinggal dilemparkan ke tengah sungai dan digulung oleh gulungan kenurnya yang besar itu. Sangat simpel.
Menurut pengakuannya dia bisa mendapatkan sampai hitungan belasan ekor dalam sehari memancing jika sedang beruntung, ikan hampala yg dia naikkan pernah ada yg mencapai ukuran berat sktr 2 kiloan.
Setelah itu kami berpisah, beliau meneruskan perjalananya ke arah hulu sungai yang lebih berarus seperti tujuannya semula untuk memikat ikan hampala.
Sayangnya kami urungkan niat untuk mengikutinya karena kondisi jalan setapak yang sulit dan sebagian masih tertutup air sehingga satu2nya cara harus menyusuri hutan dan perkebunan yang cukup terjal.
Hari minggu kemarin tgl 6 agustus saya dan beberapa teman memutuskan untuk mencoba lagi peruntungan kami untuk casting hampala di kali Citarum rajamandala. Dengan berbekal sebatang joran Orion Lexus 4-6 lbs, sebatang joran Penn 4-16 lbs, 2 bh reel shimano alivio 2500 yang diisi kenur braided Relix matrix pro 12 lbs plus leader fluorocarbon berkley Vanish 14 lbs, kamipun berangkat ke tujuan.
Jam 7 pagi kamipun sampai di bawah jembatan lama Rajamandala, Kondisi air watu itu sudah sangat dangkal sekali bahkan dibeberapa tempat saya bisa berjalan ke tengah sungai sejauh 5-7 meter.
Dari penjelasan pemilik warung di tepi jembatan kami mendapat keterangan bahwa waktu musim kemarau pintu air dari waduk saguling setiap hari minggu tidak di buka, sehingga debit air yang masuk ke Citarum sangat minim.
Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan betul oleh para nelayan penjaring ikan yang biasanya mempergunakan jaring lintar untuk mencari ikan di alur Citarum.
Kamipun coba turun ke tepi kali, dan memang betul adanya, sekitar belasan penjaring berlalu lalang di hadapan kami menyusuri sungai menebarkan jaring lintar dari atas rakit bambu.
Dan memang tidak seorangpun kelihatan turun memancing pada hari itu, kecuali seorang bapak yang pernah kami jumpai di tempat ini 5 bulan yang lalu, sedang mencoba memancing ikan hampala. Tidak banyak ikan yang dia dapatkan, hanya beberapa ekor saja itupun ukurannya kecil2, begitu katanya.
Tentulah pikir saya karena sedikit banyak pasti akan terganggu oleh kegiatan para penjaring ikan yg lalu lalang di depan kami, selain juga karena air yang mati/diam tidak berarus dan keruh oleh karena kegiatan para penjaring ini.
walhasil kami putuskan untuk cabut saja dari sana dan selanjutnya kami menuju ke sebuah sungai kecil yang juga bermuara ke waduk Cirata di sekitar jalan lintas Jonggol, atas usulan seorang teman yg biasa mancing ikan beuntur, lalawak dan genggehek di sungai itu.
Setelah tiba di lokasi, debit air sungai ini juga sdh tinggal sedikit walau masih layak untuk tempat kami bisa mancing.
Sejurus kami perhatikan sepertinya di dalam sungai tidak ada kehidupan sama sekali, padahal biasanya teman kami sering membawa pulang ikan cukup banyak kalau mancing di sungai ini.
Tak lama setelah kami membuka bekal makan siang ada beberapa orang anak penduduk kampung setempat memberi tahu bahwa beberapa hari sebelumnya sungai itu sudah ditebar racun portas dan endrin sampai 5 kali, bussseeet 5 kali bo.
Ikan2 kecil tak terhitung banyaknya dan juga banyak sekali ikan hampala ikan tagih/baung, gabus, besar2, ikan mas juga dll yang meraka dapatkan hari itu. Begitu menurut cerita anak itu.
Dengan perasaan campur aduk jengkel, getir, sedih berkecamuk dlm hati saya, akhirnya kamipun pulang dgn lesu. Bayangkan bukan hanya sekali tapi 5x racun ditebar di sungai yang hanya selebar 2-5mtr ini.
Entah berapa tahun lagi sungai ini bisa pulih lagi seperti sedia kala. Dengan demkian tak heranlah lagi saya kenapa ikan2 peliharaan di japung dan di waduk sering mengalami kematian mendadak padahal sudah musim kemarau, dan ditengah2 waduk cirata tidak biasanya tiba2 banyak sekali didapatkan ikan Hampala, yang mungkin diakibatkan karena alur sungai tempat berkembang biak ikan ini ternyata sudah dicemari oleh orang2 yang kurang bertanggung jawab.
Habislah tempat untuk kami bisa meneruskan hobi bersiar-siar sambil memancing di sungai2 yang bermuara ke Cirata. Entahlah pula dengan sungai2 yang lain, apatah sama keadaannya dengan sungai ini.
Fenomena meracun ikan dengan mempergunakan racun portas atau endrin dan beberapa jenis racun lainnya, sepertinya masih dan sudah menjadi kegiatan yang umum dilakukan penduduk desa ketika musim kemarau tiba.
Dan herannya mengapa racun2 ini masih sangat mudah sekali didapatkan?, bukankah pemerintah juga sudah melarang peredarannya?
Masih banyak pertanyaan yang belum lagi bisa terjawab.
Entah apa pula yang bisa saya perbuat untuk mencegah terjadinya kegiatan yang merusak alam ini.