PANGKALAN BUN – Wajah Suryansyah terlihat begitu berseri. Pancing yang ia pegang telah membuahkan hasil. Tanpa susah payah lelaki berkumis ini menarik tali pancing. Hasilnya pun segera terlihat, seekor kerapu telah melahap umpan udang pada mata kail. Dengan bangga, Suryansah menunjukkannya sambil mengangkat tali pancing yang masih tergantung kerapu kecil itu. Ini juga sekaligus jadi bukti bahwa Tanjung Keluang adalah lokasi memancing laut yang asyik.

Jangan bayangkan Suryansyah memakai joran yang biasa dipakai untuk memancing di laut. Pria berbadan tegap itu cuma menggunakan tali kenur dengan gulungan tali yang terbuat dari kayu. Dari pinggir pantai, ia mengajarkan kami bagaimana memancing sederhana ini dengan baik. Sederhana tapi rasanya nggak kalah mengasyikkan.

Soal mata kail tak perbedaaan, ia pakai mata kail nomor empat. ”Kalau ada y ang nomor tiga juga bisa kok. Nggak ada masalah,” ujar nelayan yang gemar mengikuti kejuaraan memancing ini. Tak ketinggalan mengikatkan pelampung kecil supaya kelihatan kalau umpan ditarik oleh ikan.

Udang segar dan ikan belanak hidup paling sering digunakan sebagai umpan. Ini paling cocok untuk ”menjebak” ikan yang lezat, seperti Senangin, kurau, kakap merah, kakap putih dan bakut. Kalau mau dapat ikan sembilang atau belutang kita harus pakai umpan cepat macam ikan belangkas. ”Biasanya ikan belangkas kita dapat waktu musim kemarau, sebab banyak yang naik ke pinggir pantai.” Umpan udang busuk dipakai memancing ikan pari.

Kalau ada kelebihan uang, Suryansyah menyarankan untuk memancing di bagian tengah. Dengan menyewa perahu klotok, kita bisa lebih leluasa memilih tempat. Sebab, masih ada tujuh lokasi lain yang juga berpotensi memanjakan para pehobi memancing laut.

”Selain Tanjung Keluang, kita bisa ke Gosong Tempurung, Tanjung Kubu, Tanjung Pandan, Tanju ng Rema, Sepagar, Senggora dan Batu,” kata Suryansyah dengan ramah. Enaknya lagi ketujuh tempat tersebut gampang dicapai dari pantai Kubu. Yang penting, siapkan ongkos sewa perahu kelotok.

Acara memancing ini sebetulnya merupakan bagian dari kegiatan jalan-jalan anak-anak muda dan volunteer konservasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (Kalteng). Kebetulan pada Senin (22/9) lalu dinyatakan sebagai libur nasional, jadilah mereka memenuhi undangan jalan-jalan sehari ke Tanjung Keluang.

Forum anak-anak muda itu dibentuk setelah Conservation International Indonesia (CII) mengadakan beberapa pelatihan di ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) itu. ”Selama bulan ini (September) kami sudah beberapa kali mengadakan pelatihan untuk anak-anak muda, seperti pelatihan kader konservasi, volunteer konservasi dan pelatihan dasar-dasar jurnalistik,” sebut Sunarto, manajer Orangutan Project CII.

Tak Terurus
Selain belajar singkat memancing di laut, ana k-anak muda ini juga dirangsang untuk peduli kondisi Pantai Kubu dan Tanjung Keluang. Kedua lokasi itu memang meminta perhatian kita. Maklum saja, lingkungannya betul-betul tak terurus. Ini yang sungguh mengiris hati. Pasalnya, Tanjung Keluang sudah diberi ”gelar” Taman Wisata Alam lewat Keputusan Menhut No. 046/Kpts-II/1984 sejak 3 Desember 1984 dengan 2.000 ha.

Kondisi paling menyedihkan terlihat di Tanjung Keluang. Di sini sudah terbangun beberapa shelter dan pos peristirahatan tetapi justru dicorat-coret tak karuan. Fasilitas kamar mandi sudah hancur. Pintu dan daun jendela sudah raib entah ke mana.

Tak seberapa jauh dari bangunan peristirahatan, berdiri menara suar. Tingginya sekitar sepuluh meter. Sayangnya, selain berkarat pada bagian tiang, di seluruh sisi tembok luar sudah habis dimakan aksi vandalisme. Padahal bila dirawat bisa jadi objek foto yang menarik.

Trek jalan kaki yang dibangun dari conblock juga membuat kita mengurut dada. Selain sudah bolong-bolong, di beberapa bagian sudah tertutup oleh rumput dan tumbuhan merambat. Menurut Suryansyah, semua fasilitas tadi yang membangun adalah pemerintah Kabupaten Kobar. Tetapi entah bagaimana tak ada pengembangan dan langkah pemanfaatan selanjutnya.

Mengamati Burung
Buat volunteer yang tak tertarik belajar singkat soal memancing, mereka bergabung bersama tiga fasilitator tamu dari Bandung, Jawa Barat. Yang pertama, Zaini Rahman dari YPAL, Ahmad Hadian (Bird Conservation Society/Bicons) dan Ade Rahmat (Himpunan Mahasiswa Biologi Universitas Padjajaran). Dengan ramah, mereka membagi ilmu mengamati burung di alam bebas.

Karena lokasinya yang ada di pinggir pantai, ketiga fasilitator itu lebih fokus kepada pengamatan burung-burung air. Mereka juga bercerita soal pengamatan elang. Apalagi berdasar keterangan Suryansyah, penduduk desa Kubu sering melihat elang terbang membubung pada siang hari.

Sebelum berkeliling, para peserta jalan-jalan mendapat bekal pengamatan. Zaini membuka dengan perkenalan jenis elang yang ada di Indonesia. Lewat keterangan Suryansyah ia coba mendata jenis elang yang bisa ditemui. Paling positif adalah Elang Bondol (Haliastur indus).

Waktu dikenalkan sepenggal cerita birdwatching sebagian peserta sudah kelihatan antusias. Terlebih saat Ade mengeluarkan teropong. ”Ini namanya binokuler. Cara memakainya gampang saja, coba perhatikan baik-baik,” terang Ade sambil menunjukkan contoh alat pengintip burung itu.

Anak-anak muda Pangkalan Bun ini memang teramat jarang tersentuh kegiatan model begini. Jadi jangan heran ketika dikenalkan istilah ”birdwatching” saja dahi mereka sudah kelihatan berkerinyit. Gairah mereka makin menjadi waktu pengenalan teropong tadi.

Saking ngebet-nya waktu pengenalan belum selesai, mereka sudah menjajal kemampuan alat itu. Apa saja dilihat pakai teropong. Padahal, ”Kalau mau gampang lihat dulu objeknya dengan mata kepala baru dipe rjelas dengan binokuler,” imbuh Ade coba membantu mereka.

”Kak, apa enaknya birdwatching?” cetus Edi, salah seorang volunteer di sela pengamatan. Zaini dan Ade yang ditanya cuma senyum-senyum penuh arti. ”Buat saya birdwatching cuma satu jalan buat ikut kegiatan konservasi. Dari situ, kita akan ikut peduli soal habitat burung,” jawab Zaini mantap.

Karena masih baru, kebanyakan peserta masih sering melanggar ”aturan” birdwatching. Belum ketemu burung, mereka sudah berisik. Boro-boro bisa mengintip, baru dengar ”kicau” mereka burung sudah terbang menjauh. ”Dan lain kali jangan lupa pakai baju yang berwarna gelap ya. Jangan warna yang mencolok,” pesan Ade. Meski begitu, kelompok kecil ini sukses mencatat lima belas burung yang bisa teramati di wilayah Tanjung Keluang (lihat Boks: Burung Teramati di Pantai Kubu dan Tanjung Keluang).

Berkelotok
Tanjung Keluang bisa dicapai setelah tiga puluh menit berkelotok dari pantai Kubu, Kecamatan Kumai. Biasanya tiap akhir pekan atau musim liburan masyarakat Pangkalan Bun selalu berkunjung ke pantai Kubu. Di sini, mereka menghabiskan waktu bersama keluarga. Duduk-duduk di pinggir pantai, menikmati semilir angin dan bercengkrema di atas alas tikar adalah kegiatan yang lazim ditemui. Puncak acara selalu dibuka dengan makan bersama.

Waktu hari raya Idul Fitri, masyarakat Pangkalan Bun selalu membanjiri pantai Kubu. Sehabis menjalankan sholat Ied dan bersilahturahmi dengan sanak keluarga, siangnya mereka berduyun-duyun menuju lokasi objek wisata Bugam Raya (Pantai Kubu, Teluk Bogam dan Keraya).

Kalau ada waktu lebih, sebagian orang memilih menyeberang ke Tanjung Keluang. Cukup bayar seratus ribu, kelotok siap mengantar ke lokasi ini. Mahal? Rasanya tidak sebab ini harga sewa kelotok itu bisa mengangkut sekitar lima belas orang. Dan itu sudah termasuk pulang pergi. (SH/bayu dwimardana)

http://www.sinarharapan.co.id/featur...1001/hob1.html

-Tony-